BAB I.
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG MASALAH
Korupsi
Kolusi dan Nepotisme (KKN) sebagai suatu implikasi dari sikap hidup lebih besar
pasak dari tiang, yang nampaknya menghinggapi masyarakat Indonesia baik secara
nasional, dalam pembangunan nasional maupun yang lebih mikro lagi, dalam
kegiatan perusahaan dan kegiatan perorangan. Masyarakat Indonesia baru harus
dapat keluar dari sikap ini dengan membuang KKN dalam membangun masyarakat
Indonesia secara lebih menyeluruh, lebih terbuka, lebih demokratis, dan lebih
mandiri.
Dalam
tulisan ini saya ingin memusatkan perhatian pada penaggulangan masalah KKN
dengan mengusulkan perlunya kejelasan konsep atau kriteria dari masing-masing
tindakan dalam KKN dan memusatkan penanganannya pada masalah yang lebih jelas,
dan lebih pokok, yaitu “korupsi”.
Dengan cara ini diharapkan program penanganan masalah KKN akan lebih terarah
dan memberikan hasil yang setahap demi setahap dapat dipergunakan untuk
dijadikan basis bagi penanganan seterusnya sampai tuntas.
Dan
“korupsi” itu sendiri adalah yang dari bahasa latin corruptio dari kata kerja
corrumpere yang
bermakna busuk, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok. Secara harfiah, korupsi
adalah perilaku pejabat publik, baik politikus/politisi maupun pegawai negeri
yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka
yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan
kepada mereka.
Dalam
arti yang luas, korupsi atau korupsi politis adalah penyalahgunaan jabatan
resmi untuk keuntungan pribadi. Semua bentuk pemerintahan rentan korupsi dalam
prakteknya. Beratnya korupsi berbeda-beda, dari yang paling ringan dalam bentuk
penggunaan pengaruh dan dukungan untuk memberi dan menerima pertolongan, sampai
dengan korupsi berat yang diresmikan, dan sebagainya. Titik ujung korupsi
adalah kleptokrasi, yang arti harfiahnya pemerintahan
oleh para pencuri, dimana pura-pura bertindak jujur pun tidak ada sama
sekali.
Korupsi
yang muncul di bidang politik dan birokrasi bisa berbentuk sepele atau berat,
terorganisasi atau tidak. Walau korupsi sering memudahkan kegiatan kriminal
seperti penjualan narkotika, pencucian uang, dan prostitusi. Korupsi itu
sendiri tidak terbatas dalam hal-hal ini saja. Untuk mempelajari masalah ini
dan membuat solusinya, sangat penting untuk membedakan antara korupsi dan
kriminalitas kejahatan.
Tergantung
dari negaranya atau wilayah hukumnya, ada perbedaan antara yang dianggap
korupsi atau tidak. Sebagai contoh, pendanaan partai politik ada yang legal di
satu tempat namun ada juga yang tidak legal di tempat lain.
B.
RUMUSAN MASALAH
Dari
latar belakang yang disampaikan maka yang menjadi permasalahan dalam makalah
ini :
Bagaimana
dampak bagi Negara jika korupsi, kolusi,nepotisme merajalela ?
BAB II.
PEMBAHASAN
C. PENDEKATAN
1.
PENDEKATAN SECARA HISTORICAL
Perkembangan
peradaban dunia semakin hari seakan-akan berlari menuju modernisasi.
Perkembangan yang selalu membawa perubahan dalam setiap sendi kehidupan tampak
lebih nyata. Seiring dengan itu bentuk-bentuk
kejahatan juga senantiasa berubah mengikuti perkembangan jaman dan
bertransformasi dalam bentuk-bentuk yang semakin canggih dan beranekaragam.
Kejahatan dalam bidang teknologi dan ilmu pengetahuan senantiasa turut
mengikutinya. Kejahatan masa kini memang tidak lagi selalu menggunakan
cara-cara lama yang telah terjadi selama bertahun-tahun seiring dengan
perjalanan usia bumi ini. Bisa kita lihat contohnya seperti, kejahatan dunia
maya (cybercrime), tindak pidana pencucian uang (money laundering), tindak
pidana korupsi dan tindak pidana lainnya.
Korupsi
merupakan salah satu tindak pidana yang menjadi musuh seluruh bangsa di dunia
ini. Sesungguhnya fenomena korupsi sudah ada di masyarakat sejak lama, tetapi
baru menarik perhatian dunia sejak perang dunia kedua berakhir. Di Indonesia
sendiri fenomena korupsi ini sudah ada sejak Indonesia belum merdeka. Salah
satu bukti yang menunjukkan bahwa korupsi sudah ada dalam masyarakat Indonesia
jaman penjajahan yaitu dengan adanya tradisi memberikan upeti oleh beberapa
golongan masyarakat kepada penguasa setempat.
Kemudian
setelah perang dunia kedua, muncul era baru, gejolak korupsi ini meningkat di
Negara yang sedang berkembang, Negara yang baru memperoleh kemerdekaan. Masalah
korupsi ini sangat berbahaya karena dapat menghancurkan jaringan sosial, yang
secara tidak langsung memperlemah ketahanan nasional serta eksistensi suatu
bangsa.
Reimon
Aron seorang sosiolog berpendapat bahwa korupsi dapat mengundang gejolak
revolusi, alat yang ampuh untuk mengkreditkan suatu bangsa. Bukanlah tidak
mungkin penyaluran akan timbul apabila penguasa tidak secepatnya menyelesaikan
masalah korupsi. (B. Simanjuntak, S.H., 1981:310)
2.
PENDEKATAN SECARA SOSIOLOGIS
Dalam
arti yang luas, korupsi atau korupsi politis adalah penyalahgunaan jabatan
resmi untuk keuntungan pribadi atau golongan. Semua bentuk pemerintahan rentan
korupsi dalam prakteknya. Beratnya korupsi berbeda-beda, dari yang paling
ringan dalam bentuk penggunaan pengaruh dan dukungan untuk memberi dan menerima
pertolongan, sampai dengan korupsi berat yang diresmikan, dan sebagainya.
Titik
ujung korupsi adalah kleptokrasi, yang arti harafiahnya pemerintahan oleh para
pencuri, di mana pura-pura bertindak jujur pun tidak ada sama sekali. Korupsi
yang muncul di bidang politik dan birokrasi bisa berbentuk sepele atau berat,
terorganisasi atau tidak. Walau korupsi sering memudahkan kegiatan kriminal
seperti penjualan narkotika, pencucian uang, dan prostitusi, korupsi itu
sendiri tidak terbatas dalam hal-hal ini saja. Untuk mempelajari masalah ini
dan membuat solusinya, sangat penting untuk membedakan antara korupsi dan
kriminalitas kejahatan.
Di
dalam bidang studi ekonomi, kolusi terjadi di dalam satu bidang industri disaat
beberapa perusahaan saingan bekerja sama untuk kepentingan mereka bersama.
Kolusi paling sering terjadi dalam satu bentuk pasar oligopoli, dimana
keputusan beberapa perusahaan untuk bekerja sama, dapat secara signifikan
mempengaruhi pasar secara keseluruhan. Kartel adalah kasus khusus dari kolusi
berlebihan, yang juga dikenal sebagai kolusi tersembunyi.
Kolusi
merupakan sikap dan perbuatan tidak jujur dengan membuat kesepakatan secara
tersembunyi dalam melakukan kesepakatan perjanjian yang diwarnai dengan
pemberian uang atau fasilitas tertentu sebagai pelicin agar segala urusannya
menjadi lancar.
Nepotisme
berarti lebih memilih saudara atau teman akrab berdasarkan hubungannya bukan
berdasarkan kemampuannya. Kata ini biasanya digunakan dalam konteks derogatori.
Sebagai contoh, kalau seorang manajer mengangkat atau menaikan jabatan seorang
saudara, bukannya seseorang yang lebih berkualifikasi namun bukan saudara,
manajer tersebut akan bersalah karena nepotisme.
Pakar-pakar
biologi telah mengisyaratkan bahwa tendensi terhadap nepotisme adalah berdasarkan
naluri, sebagai salah satu bentuk dari pemilihan saudara.
3.
PENDEKATAN SECARA YURIDIS
Di
Indonesia sendiri praktik korupsi sudah sedemikian parah dan akut. Telah banyak
gambaran tentang praktik korupsi yang terekspos ke permukaan. Di negeri ini
sendiri, korupsi sudah seperti sebuah penyakit kanker ganas yang menjalar ke
sel-sel organ publik, menjangkit ke lembaga-lembaga tinggi Negara seperti
legislatif, eksekutif dan yudikatif hingga ke BUMN. Apalagi mengingat di akhir
masa orde baru, korupsi hampir kita temui dimana-mana. Mulai dari pejabat kecil
hingga pejabat tinggi.
Walaupun
demikian, peraturan perundang-undangan yang khusus mengatur tentang tindak
pidana korupsi sudah ada. Di Indonesia sendiri, undang-undang tentang tindak
pidana korupsi sudah 4 (empat) kali mengalami perubahan. Adapun peraturan
perundang-undangan yang mengatur tentang korupsi, yakni :
1. Undang-undang nomor 24 Tahun 1960
tentang pemberantasan tindak pidana
korupsi,
2. Undang-undang nomor 3 Tahun 1971
tentang pemberantasan tindak pidana
korupsi,
3. Undang-undang nomor 31 Tahun 1999
tentang pemberantasan tindak pidana korupsi,
4. Undang-undang nomor 20 Tahun 2001
tentang perubahan atas Undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi.
Berdasarkan
undang-undang bahwa korupsi diartikan:
1. Barang siapa dengan melawan hukum
melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan
yang secara langsung merugikan keuangan Negara dan atau perekonomian Negara dan
atau perekonomian Negara atau diketahui patut disangka olehnya bahwa perbuatan
tersebut merugikan keuangan Negara (Pasal 2);
2. Barang siapa dengan tujuan menguntungkan diri
sendiri atau orang lain atau suatu badan menyalah gunakan kewenangan,
kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan secara
langsung dapat merugikan Negara atau perekonomian Negara (Pasal 3).
3. Barang siapa melakukan kejahatan
yang tercantum dalam pasal 209, 210, 387, 388, 415, 416, 417, 418, 419, 420,
425, 435 KUHP.
Pidana
pokok yang dapat dijatuhkan adalah pidana denda dengan ketentuan maksimal
ditambah 1/3 (sepertiga). Penjatuhan pidana ini melalui procedural ketentuan
pasal 20 ayat (1)-(5) undang-undang 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak
pidana korupsi adalah sebagai berikut:
1. Dalam hal tindak pidana korupsi
dilakukan oleh atau atas nama suatu korporasi, maka tuntutan dan penjatuhan
pidana dapat dilakukan terhadap korporasi dan/atau pengurusnya.
2. Tindak pidana korupsi dilakukan
oleh korporasi apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang baik
berdasarkan hubungan kerja maupun berdasarkan hubungan lain, bertindak dalam
lingkungan korporasi tersebut baik sendiri maupun bersama-sama.
3. Dalam hal ini tuntutan pidana
dilakukan terhadap suatu korporasi maka korporasi tersebut diwakili oleh
pengurus, kemudian pengurus tersebut dapat diwakilkan kepada orang lain.
4. Hakim dapat memerintahkan supaya
pengurus korporasi menghadap sendiri di pengadilan dan dapat pula memerintahkan
supaya penguruh tersebut dibawa ke siding pengadilan.
5. Dalam hal tuntutan pidana dilakukan
terhadap korporasi, maka panggilan untuk menghadap dan menyerahkan surat
panggilan tersebut disampaikan kepada pengurus di tempat tinggal pengurus atau
ditempat pengurus berkantor.
Unsur-unsur
tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang nomor 20 tahun
2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi adalah :
1. Melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri
atau orang lain atau suatu korporasi;
2. Perbuatan melawan hukum;
3. Merugikan keuangan Negara atau perekonomian;
4. Menyalahgunakan kekuasaan, kesempatan atas
sarana yang ada padanya karena jabatan dan kedudukannya dengan tujuan
menguntungkan diri sendiri atau orang lain.
D.
PEMBAHASAN
Disadari
bahwa permasalahan korupsi merupakan persoalan nasional yang harus
diprioritaskan penanganannya, karena korupsi diyakini telah merusak sendi –
sendi kehidupan masyarakat dan menjadi pemicu kesengsaraan rakyat. Dampak
korupsi telah muncul berbagai persoalan antara lain :
1.
Rendahnya
kualitas pelayanan publik.
2.
Timbulnya
biaya ekonomi yang semakin tinggi.
3.
Berkurangnya
penerimaan Negara.
4.
Runtuhnya
lembaga dan nilai- nilai demokrasi.
5.
Meningkatnya
kemiskinan dan kesengsaraan rakyat.
6. Bartambahnya masalah sosial dan
criminal.
Sebagai
manifestasi dari kesadaran tersebut dan adanya kemauan yang kuat untuk
melakukan pemberantasan terhadap segala bentuk perilaku korupsi maka pemerintah
telah menegaskan komitmennya dalam rangka memberantas korupsi tersebut, melalui
Intruksi Presiden no. 5 tahun 2004 tentang pemberantasan korupsi.
Dari
sudut pandang hukum, tindak pidana korupsi secara garis besar mencakup
unsur-unsur sebagai berikut:
1.
Perbuatan
melawan hukum.
2.
Penyalahgunaan
kewenangan, kesempatan, atau sarana.
3.
Memperkaya
diri sendiri, orang lain, atau korporasi.
4.
Merugikan
keuangan negara atau perekonomian Negara.
Selain
itu terdapat beberapa jenis tindak pidana korupsi yang lain, diantaranya:
1.
Memberi
atau menerima hadiah atau janji (penyuapan);
2.
Penggelapan
dalam jabatan;
3.
Pemerasan
dalam jabatan;
4.
Ikut
serta dalam pengadaan (bagi pegawai negeri/penyelenggara negara);
BAB
III.
PENUTUP
E.
KESIMPULAN
Dari
uraian pengertian dan penyebab korupsi di atas, dapat disimpulkan bahwa akibat
dari tindak pidana korupsi sangat luas dan mengakar.
Adapun akibat dari korupsi adalah sebagai
berikut:
1. Berkurangnya kepercayaan terhadap pemerintah;
2. Berkurannya kewibawaan pemerintah dalam masyarakat;
3. Menyusutnya pendapatan Negara;
4. Rapuhnya keamanan dan ketahanan Negara;
5. Perusakan mental pribadi;
6. Hukum tidak lagi dihormati.
F.
DAFTAR PUSTAKA
Hartanti,
Evi, S.H., 2005. Tindak Pidana Korupsi. Sinar Grafika : Jakarta
Marpaung,
Leden, S.H., 1992. Tindak Pidana Korupsi : Masalah dan Pemecahannya Bagian
kedua. Sinar Grafika : Jakarta
Simanjuntak,
B, S.H., 1981. Pengantar Kriminologi dan Pantologi Sosial. Tarsino
Undang-undang
Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Undang-undang
Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 31 tahun 1999
Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Http://id.wikipedia.org/wiki/kleptokrasi
0 comments:
Post a Comment